Aneh sekali ketika banyak teman yang
BELUM pernah pacaran ingin memiliki cerita “pernah pacaran” dikisah hidupnya. Sedangkan, jika aku bisa
memutar waktu, aku ingin memenghapus cerita itu dan mengantinya dengan cerita
yang lebih baik. Akan tetapi, disetiap cerita selalu ada pelajaran yang sangat
berharga. InsyaAllah..
“Mondok
Mbak?”
“Bothen.
Kos dek.”
“Kos?
Masa?”
“Iya,
ngekos di ***”
“Pernah
pacaran Mbak?”
“Heh?”
Terkejut! Tidak ada pertanyaan lain apa ya? Menanyakan tempat tinggalku, misalnya.
Aku hanya tersenyum kecut, terasa kecewa mengingat semua memori hitam itu. Tak
pernah aku meminta memiliki cerita yang begitu menyedihkan, seharusnya
lembaran-lembaran hidupku berisi kebaikan. Ighfirli wahai Rabbku..
“Mbak!” dek
Ulfa membuyarkan lamunanku.
“Pernah.“ Aku
kembali tersenyum dan bercerita, “Dulu, aku tak tahu apa itu pacaran, yang
kutahu, pacaran itu hanyalah sebatas
hubungan untuk memompa semangatku dalam hal belajar. Aku tidak tahu menahu
tentang dampak atau bahaya pacaran.”
“Berarti
Mbak dulu polos sekali ya?”
“Ya,
begitulah.. diusia SMP aku tidak paham apa itu cinta. Apa makna cinta yang
sebenarnya.”
“Sampai
suatu waktu, dimana atas izin Allah Gunung Merapi meletus pada tanggal 26
Oktober 2010.”
“Hafal
sekali Mbak.”
“Iya dek.
Karena, peristiwa itulah awal dimana aku merasa benar-benar hidup.”
“Maksudnya?”
“Alhamdulillah,
aku hidup dengan makan yang cukup dan kenyang, namun ruhku terasa kosong.
Hidupku hampa terasa. Maksudnya, aku memang terlahir sebagai seorang Muslim, akan
tetapi Muslim keturunan. Ibu dan ayahku orang awam, tidak banyak yang mereka
ajarkan tentang agama Islam sebagai bekal hidupku. Aku hanya tahu sebatas
shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat di akhir Bulan
Ramadhan, dan berhaji bagi yang mampu. Lulus SD aku sudah ingin mondok, tapi
ibu dan ayahku tidak memberi izin.”
“Kenapa?”
“Mereka
terlalu sayang sama anak perempuannya ini, dek.”
“Terus
Mbak?”
“Tadi kan
aku cerita tentang Gunung Merapi, ya? Mau tidak mau, aku harus mengungsi dek.”
“Berapa
hari Mbak?”
“31 hari.”
“Lama
banget Mbak!”
“hehe..
aku, ibu dan ayahku mengungsi berpindah sampai 3 kali.”
“Kenapa
pindah-pindah Mbak? Pasti tidak betah, ya?”
“hehe..
enggak dek. Aktivitas Gunung Merapi semakin meningkat, makanya pindah ditempat yang
lebih aman.”
“Mengungsi
dimana Mbak?”
“Pertama,
di Balai Desa Banyubiru, Dukun. Kedua, di masjid Ngawen Muntilan. Dan yang
terakhir di gedung KPRI Borobudur.”
“Kalau
sama candinya Mbak?”
“Kurang
lebih satu kilometer dek. Tempat itulah saksi bisu awal perjalanku kearah yang
lebih baik.”
“Aku masih
ingat betul dek. Waktu itu aku malu, bacaan Qur’anku masih terbata-bata dan
tajwidku berantakan. Celana dan lengan bajuku masih pendek, tentu aku belum berkerudung.
Aku merasa sangat malu dan aku merasa telanjang, meskipun aku berpakaian.”
“Ngajinya
tidak memakai kerudung?”
“Ya enggak
dek, aku memakai mukena seperti anak-anak pengungsi lainnya. Banyak nasehat
yang mereka berikan, terutama tentang pacaran. Lalu, entah mengapa saat itu
ingin memutuskan pacarku, tapi aku takut menyakiti hatinya. Aku bingung, tetapi
aku tetap memutuskannya.”
“Caranya
gimana?”
“Awalnya
basa-basi gitu, sampai aku bilang bahwa aku ingin putus karena pacaran itu gak
baik, Islam tidak mengajarkan pacaran, bla bla bla.”
“Trus dia
jawab apa Mbak?”
“MasyaAllah.”
“Cuma
itu?”
“Iya.. Kemudian,
aku minta maaf sama dia, karena selama aku dan dia pacaran pasti aku pernah
menyakitinya. Dia bilang kalau jantungnya sakit, hatinya hancur, galaunya
lebbay banget. Katanya cuma aku yang dia sayang, dia menerimaku apa adanya, aku
yang ada dihatinya, bahkan dia bilang kalau akan mencintaiku selamanya. Selamanya
dek.”
“hahaha
bener banget lebaynya Mbak.”
“Tapi
dek.”
“Kok ada
tapinya?”
“Aku
ngajak balikan dek.” Mataku tiba-tiba berair.
“Kok bisa
si Mbak?”
“Aku masih
sayang sama dia, dek. Banyak canda tawa dan suka duka yang pernah kulewati
bersamanya. Kenangan-kenangan bersamanya menyeretku kembali lagi padanya, aku
lemah dek..hiks.” Aku mengusap mataku yang terus membanjiri pipiku yang semakin
basah. “Lakukan apa yang kamu yakini benar, satu kalimat sahabatku dek. Aku
kembali mengalami gejolak dalam jiwa. Sebelumnya aku yang mutusin dia, kan? Masak
aku yang mutusin dia lagi? Rasanya tidak tega dek. Jujur, aku tidak bermaksud
untuk mempermainkan hatinya. Aku hanya merasa terombang-ambing daaaan.. entah
perasaan saat itu sulit di jelaskan dek. Kamu tahu dek, apa yang dia katakan
ketika aku mutusin dia lagi?”
“Dia
marah?”
“Enggak.”
“Kecewa?”
“Enggak
juga. Dia malah mendoakan aku, semoga aku mendapatkan lelaki yang terbaik. Saat
itu aku, aku mencoba untuk melakukan apa yang aku yakini benar. Jika dia adalah
jodoh yang Allah takdirkan untukku, Allah yang akan mempertemukanku kembali
dengannya. Namun, jika dia bukan jodohku, aku dan dia akan bertemu dengan
jodohnya masing-masing. Dan terjawab dek, dia sekarang sudah menikah. Janji
Allah itu pasti.”
Menghadirkan
ibu dan ayahku, serta kakak perempuanku. Semoga kebersamaan kita sampai
jannah-Nya.
Menghadirkan
Ali yang telah mengajarkanku banyak hal, semoga Allah memberikan tempat
terindah dan bahagia disisi-Nya.
Menghadirkan
Kakak-kakak Ar-Rahman, semoga Allah memberikan balasan yang terbaik dari-Nya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar