Senin, 29 Februari 2016

Pernah Pacaran?

            Aneh sekali ketika banyak teman yang BELUM pernah pacaran ingin memiliki cerita “pernah pacaran”  dikisah hidupnya. Sedangkan, jika aku bisa memutar waktu, aku ingin memenghapus cerita itu dan mengantinya dengan cerita yang lebih baik. Akan tetapi, disetiap cerita selalu ada pelajaran yang sangat berharga. InsyaAllah..
“Mondok Mbak?”
“Bothen. Kos dek.”
“Kos? Masa?”
“Iya, ngekos di ***”
“Pernah pacaran Mbak?”
“Heh?” Terkejut! Tidak ada pertanyaan lain apa ya? Menanyakan tempat tinggalku, misalnya. Aku hanya tersenyum kecut, terasa kecewa mengingat semua memori hitam itu. Tak pernah aku meminta memiliki cerita yang begitu menyedihkan, seharusnya lembaran-lembaran hidupku berisi kebaikan. Ighfirli wahai Rabbku..
“Mbak!” dek Ulfa membuyarkan lamunanku.
“Pernah.“ Aku kembali tersenyum dan bercerita, “Dulu, aku tak tahu apa itu pacaran, yang kutahu,  pacaran itu hanyalah sebatas hubungan untuk memompa semangatku dalam hal belajar. Aku tidak tahu menahu tentang dampak atau bahaya pacaran.”
“Berarti Mbak dulu polos sekali ya?”
“Ya, begitulah.. diusia SMP aku tidak paham apa itu cinta. Apa makna cinta yang sebenarnya.”
“Sampai suatu waktu, dimana atas izin Allah Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010.”
“Hafal sekali Mbak.”
“Iya dek. Karena, peristiwa itulah awal dimana aku merasa benar-benar hidup.”
“Maksudnya?”
“Alhamdulillah, aku hidup dengan makan yang cukup dan kenyang, namun ruhku terasa kosong. Hidupku hampa terasa. Maksudnya, aku memang terlahir sebagai seorang Muslim, akan tetapi Muslim keturunan. Ibu dan ayahku orang awam, tidak banyak yang mereka ajarkan tentang agama Islam sebagai bekal hidupku. Aku hanya tahu sebatas shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat di akhir Bulan Ramadhan, dan berhaji bagi yang mampu. Lulus SD aku sudah ingin mondok, tapi ibu dan ayahku tidak memberi izin.”
“Kenapa?”
“Mereka terlalu sayang sama anak perempuannya ini, dek.”
“Terus Mbak?”
“Tadi kan aku cerita tentang Gunung Merapi, ya? Mau tidak mau, aku harus mengungsi dek.”
“Berapa hari Mbak?”
“31 hari.”
“Lama banget Mbak!”
“hehe.. aku, ibu dan ayahku mengungsi berpindah sampai 3 kali.”
“Kenapa pindah-pindah Mbak? Pasti tidak betah, ya?”
“hehe.. enggak dek. Aktivitas Gunung Merapi semakin meningkat, makanya pindah ditempat yang lebih aman.”
“Mengungsi dimana Mbak?”
“Pertama, di Balai Desa Banyubiru, Dukun. Kedua, di masjid Ngawen Muntilan. Dan yang terakhir di gedung KPRI Borobudur.”
“Kalau sama candinya Mbak?”
“Kurang lebih satu kilometer dek. Tempat itulah saksi bisu awal perjalanku kearah yang lebih baik.”
“Aku masih ingat betul dek. Waktu itu aku malu, bacaan Qur’anku masih terbata-bata dan tajwidku berantakan. Celana dan lengan bajuku masih pendek, tentu aku belum berkerudung. Aku merasa sangat malu dan aku merasa telanjang, meskipun aku berpakaian.”
“Ngajinya tidak memakai kerudung?”
“Ya enggak dek, aku memakai mukena seperti anak-anak pengungsi lainnya. Banyak nasehat yang mereka berikan, terutama tentang pacaran. Lalu, entah mengapa saat itu ingin memutuskan pacarku, tapi aku takut menyakiti hatinya. Aku bingung, tetapi aku tetap memutuskannya.”
“Caranya gimana?”
“Awalnya basa-basi gitu, sampai aku bilang bahwa aku ingin putus karena pacaran itu gak baik, Islam tidak mengajarkan pacaran, bla bla bla.”
“Trus dia jawab apa Mbak?”
“MasyaAllah.”
“Cuma itu?”
“Iya.. Kemudian, aku minta maaf sama dia, karena selama aku dan dia pacaran pasti aku pernah menyakitinya. Dia bilang kalau jantungnya sakit, hatinya hancur, galaunya lebbay banget. Katanya cuma aku yang dia sayang, dia menerimaku apa adanya, aku yang ada dihatinya, bahkan dia bilang kalau akan mencintaiku selamanya. Selamanya dek.”
“hahaha bener banget lebaynya Mbak.”
“Tapi dek.”
“Kok ada tapinya?”
“Aku ngajak balikan dek.” Mataku tiba-tiba berair.
“Kok bisa si Mbak?”
“Aku masih sayang sama dia, dek. Banyak canda tawa dan suka duka yang pernah kulewati bersamanya. Kenangan-kenangan bersamanya menyeretku kembali lagi padanya, aku lemah dek..hiks.” Aku mengusap mataku yang terus membanjiri pipiku yang semakin basah. “Lakukan apa yang kamu yakini benar, satu kalimat sahabatku dek. Aku kembali mengalami gejolak dalam jiwa. Sebelumnya aku yang mutusin dia, kan? Masak aku yang mutusin dia lagi? Rasanya tidak tega dek. Jujur, aku tidak bermaksud untuk mempermainkan hatinya. Aku hanya merasa terombang-ambing daaaan.. entah perasaan saat itu sulit di jelaskan dek. Kamu tahu dek, apa yang dia katakan ketika aku mutusin dia lagi?”
“Dia marah?”
“Enggak.”
“Kecewa?”
“Enggak juga. Dia malah mendoakan aku, semoga aku mendapatkan lelaki yang terbaik. Saat itu aku, aku mencoba untuk melakukan apa yang aku yakini benar. Jika dia adalah jodoh yang Allah takdirkan untukku, Allah yang akan mempertemukanku kembali dengannya. Namun, jika dia bukan jodohku, aku dan dia akan bertemu dengan jodohnya masing-masing. Dan terjawab dek, dia sekarang sudah menikah. Janji Allah itu pasti.”

Menghadirkan ibu dan ayahku, serta kakak perempuanku. Semoga kebersamaan kita sampai jannah-Nya.
Menghadirkan Ali yang telah mengajarkanku banyak hal, semoga Allah memberikan tempat terindah dan bahagia disisi-Nya.
Menghadirkan Kakak-kakak Ar-Rahman, semoga Allah memberikan balasan yang terbaik dari-Nya.

AAMIIN AAMIIN AAMIIN YA ALLAH...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar